Sejak reformasi bergulir belasan tahun lalu segala tatanan sosial berdemokrasi di negeri ini mengalami perubahan luar biasa yang kita akui banyak manfaat tetapi disisi lain juga tidak kurang mudharatnya. Salahsatu aturan yang telah terbukti dengan jelas dan terang benderang membuat ekses negatif adalah dalam kaitan dengan pembiayaan kampanye calon anggota legislatif dan ekskutif (pilkada dan pilpres). Dalam konteks ini para calon yang memiliki dana besar untuk kampanyenya senantiasa diuntungkan sehingga kebanyakan mereka memenangkan pertarungan dalam Pemilu tersebut.
Dana besar boleh jadi berasal dari dirinya sendiri baik mungkin karena mereka adalah pengusaha atau memiliki penghasilan besar maupun yang dibantu oleh sejumlah pemilik modal agar calon bersangkutan berhasil memenangkan pemilihan. Pemerintah tidak menanggung biaya kampanye calon sehingga para calon mesti mampu mencari sumber-sumber pendanaan. Sudah bukan rahasia umum lagi atau terang benderang dikehatui khalayak bahwa para pengusaha banyak yang berada di belakang para calon itu khususnya untuk jabatan eksekutif seperti pada pemilihan kepala daerah dan presiden.
Alhasil, mereka yang kemudian berhasil memenangkan pemilihan tersebut manakala menjalankan tugasnya tidak terlepas dari bayang-bayang pemilik modal yang telah menyumbangkan kontribusinya saat kampanye. Hal ini disebabkan sang pejabat merasa berhutang budi telah dibantu dengan dana dan bantuan lain yang sangat besar. Berdasarkan hal tersebut kita lantas menyaksikan betapa terjadi KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) merajalela di kalangan pejabat yang berkuasa bahkan demikian tersebar tidak hanya dipusat tetapi telah menjalar rata diseluruh Tanah Air.
Dikabarkan bahwa lebih dari 50% dari 400 an kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia telah dan sedang mengalami masalah hukum terkait KKN. Fenomena KKN ini tidak dapat dihindari disebabkan salah satu faktor utamanya akibat dana kampanye yang dikeluarkan begitu besar sehingga membuat sang pejabat tersebut perlu membayar hutangnya atau berusaha :balik modal” atas segala pengeluaran saat kampanye dulu. Inilah ekses negatif dari biaya kampanye pemilu yang membolehkan para calon menerima dana pemilu dari pengusaha termasuk pengusaha hitam yang punya niat jelek membisniskan politik sehingga “ada udang dibalik batu” pada setiap pemberian bantuannya kepada sang calon pejabat. Lalu si pejabat pun memiliki mental bobrok dengan menerima begitu saja pemberian itu, sehingga saat menjabat nanti ia pun mengajak dan membiarkan pengusaha hitam itu beriperasi memoroti anggaran belanja Negara dan atau daerah. Sekaligus si pejabat memperkaya dirinya sendiri, alhasil berita pejabat yang bermasalah hukum bahkan masuk bui sudah amat banyak dan layak mendapat rekor MURI karena mungkin menjadi Negara yang paling banyak memenjarakan pejabatnya. Untungnya kita masih punya Komisi Pemebarantasan Korupsi yang relative masih bisa diandalkan sebagai buah reformasi dalam hal penegakan hukum. Coba kalau situasinya masih seperti order baru maka kasus-kasus KKN tersimpan dan terpendam tnapa diketahui public secara luas.
Namun demikian, kita perlu menutup celah-celah yang memungkinkan pejabat dapat melakukan hal tercela seperti KKN tersebut diatas dengan misalnya biaya kampanye semuanya diberikan pemerintah dan tidak dibolehkan pengusaha menyumbangkan dana secara langsung. Pengusaha yang benar-benar tulus untuk memajukan bangsanya bisa menyalurkan sumbangannya kepada pemerintah (KPU), tidak dipublikasikan (tertutup) dan tidak boleh menyumbang langsung kepada peserta Pilkada/Pilpres. Hal ini untuk menghindari vested of interest kedua belah pihak (pengusaha dan calon pejabat).
Konon ratusan kepala daerah yang bermasalah hukum ini memiliki nilai korupsi hingga ratusan triliun rupiah. Padahal jika biaya kampanye yang diberikan oleh pengusaha itu secara menyeluruh paling-paling hanya beberapa tiliun rupiah saja. Oleh karena itu agak tidak kecolongan terus menerus bangsa ini mesti memiliki aturan yang tegas, keras, jelas dan mendidik. Jangan biarkan calon pejabat berkolusi dengan pengusaha. Pemerintah harus ambil alih persoalan ini jangan biarkan hanya calon yang punya akses terhadap permodalan saja yang mampu mengajukan diris ebagai pimpinan sebagaimana sistem dan aturan Pemilu saat ini. Gelontorkan saja biaya kampanye dari pemerintah (KPU) dan jikalau pengusaha ingin membantu dana kampaye dibolehkan tetapi tidak menyebut nama serta semua dana kampanye lalu dikumpulkan menjadi satu. Dengan demikian akan tampak mana pengusaha yang benar-benar tulus membantu bangsanya tidak maruk dan serakah dalam menghisap kekayaan yang ada di Tanah Air.