Aristoteles dan sejumlah filosof sepakat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan sekitar. Sebagai makhluk sosial dimuka bumi ini tentu manusia membutuhkan teman dalam mengisi kehidupannya. Belajar dari sejarah diciptakannya manusia bahwa Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan Allah ternyata tidak sendirian, ia kemudian ditemani Hawa. Singkat cerita, manusia sebagaimana makhluk hidup lainnya melakukan reproduksi, berkembang biak pesat, populasi manusia kian bertambah hingga kini tidak kurang dari lima miliar manusia mendiami planet bumi ini.
Dalam hidup ini kita pun menyaksikan betapa manusia secara individu atau pun kelompok senantiasa memiliki kawan disamping lawan. Senyatanya, mencari kawan di dunia tidak semudah mencari lawan. Membina hubungan baik dengan sesama manusia juga membutuhkan waktu dan kualitas interaksi yang memadai, sebaliknya pertemanan yang telah terjalin dengan baik dalam waktu yang cukup lama bisa saja sekonyong-konyong berubah menjadi permusuhan. Inilah realita sehari-hari dalam kehidupan umat manusia di dunia. Dalam konteks ini maka pelajaran yang dapat dipetik adalah betapa sulit membangun hubungan persaudaraan yang memerlukan pengorbanan dan kesabaran serta atribut baik lainnya, sementara itu betapa mudahnya manusia dapat merusak jalinan persaudaraan yang terbina disebabkan oleh perilaku buruk dari manusia itu sendiri.
Nabi Muhammad SAW sendiri telah mengingatkan kita agar tidak terjerumus dari perilaku keliru dalam beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan sesama manusia. Bukankah Nabi diutus semata-semata untuk menuntun manusia berakhlak mulia melalui hadist yang terkenal “innama bu'itstu liutammima makarimal akhlak”. Oleh karena itu Nabi mengajarkan akhlak Islami yang patut sebenarnya ditaati oleh manusia yang hidup di dunia ini, namun tidak semua manusia mengikuti perintah dan larangan agama (Islam) yang dibawa Nabi ini. Sampai akherat kelak tetap saja manusia terbelah dua yakni mereka yang beriman dengan keimanan Islam dan mereka yang menutup mata hatinya dari keimanan Islam.
Kembali kepada persoalan kawan dan lawan. Mencari lawan seperti dipaparkan diatas adalah sangat mudah, melalui mulut kita yang tak terkendali dan lepas kontrol akan berakibat kita menghadapi lawan yang tidak senang dengan apa yang diucapkan oleh kita. Mulutmu harimaumu, demikian pepatah yang kerap kita dengar. Oleh karena itu apabila kita tidak ingin memperbanyak lawan pengendalian atas apa yang kita ucapkan merupakan hal yang penting.
Manakala kita berdakwah dan menyampaikan kebenaran pun diutamakan untuk bersikap sopan santun dan memilih kata-kata yang tepat dan mengena. Akan lebih manjur lagi apabila dakwah dan nilai-nilai, norma agama yang kita perkenalkan sebagai Muslim yang berdakwah tersebut diikuti dengan contoh-contoh nyata melalui akhlak mulia. Maka dakwah bil lisan saja belum cukup mesti dilengkapi dan diiringi dengan dakwah bil hal yang dapat dilihat langsung oleh mereka yang mempelajari Islam. Persoalan yang menjadi fenomena masyarakat Muslim Indonesia adalah contoh-contoh keteladanan yang masih sangat minim meski kita memiliki banyak da’I dan juru dakwah namun tampaknya ungkapan verbalistik masih mendominasi penyebaran ajaran Islam ketimbang sikap perilaku yang menyejukkan.
Memang tidak bisa dihindari bahwa tidak mungkin dalam kehidupan ini semua manusia mesti berpihak pada kita sebagai kawan sejati karena esensi kehidupan dunia ini telah diuraikan dalam wahyu-wahyu Allah di al Quran nur karim bahwa umat dimuka dunia ini diskenariokan Nya bukan sebagai umat yang satu (umatan wahidah). Dalam menyampaikan kebenaran pun umat Islam mesti berani menyampaikan yang haq atas yang batil meski ucapan tersebut dapat berakibat sebagian manusia tidak senang. Ini berarti ada saatnya kita siap mendapatkan lawan dalam kehidupan di dunia ini. Hanya saja kearifan dan kebijakan mesti dikedepankan tanpa mengurangi makna kebenaran yang kita sampaikan.
Pergaulan, interaksi dan komunikasi antar manusia sehari-hari yang kita terlibat di dalamnya merupakan bahan-bahan introspeksi untuk meningkatkan kualitas kerjasama, empati dan berbagai atribut kebaikan kita lainnya. Semakin tinggi jabatan kita semakin sering seharusnya mengambil hikmah dari hubungan antar manusia yang kita laksnakan sehari-hari. Bisikan-bisikan syaitan tidak hanya ketika kita beribadah langsung kepada Allah (hablumminallah) melainkan juga tanpa disadari merasuk kedalam pergaulan kita dengan orang lain (hablumminannas). Seringkali kita lupa bahwa ternyata godaan yang dihadapi dalam meningkatkan kualitas unjuk kerja yang terkait dengan hablumminannas lebih besar, sehingga kemajuan peradaban umat Islam yang mulya dan agung hingga kini belum juga mewujud menjadi acuan umat lain.
Semakin banyak kawan semakin baik kita menjalani kehidupan ini sebaliknya semakin banyak lawan semakin sulit kita melaksanakan tugas-tugas sehari-hari. Mendapatkan kawan sejati tentu memerlukan pengorbanan dan upaya yang dimulai dari diri kita sendiri. Mengelola diri (self management) merupakan bagian tak terpisahkan dari mengelola orang lain (people management). Jika menjabat dalam posisi yang menerapkan people management, maka pengelolaan diri mesti terlebih dahulu dilakukan sebelum kita mengelola orang lain. Pengelolaan diri termasuk didalamnya mengelola amarah yang tidak ditampilkan dihadapan publik, mengendalikan diri tidak berperilaku yang mendholimi orang lain, merendahkan diri orang lain dan sebagainya.
Di dunia pendidikan jabatan-jabatan yang amat ketat berhubungan dengan orang lain seperti kepala sekolah, wali kelas, guru, rektor, dekan dan dosen dituntut memiliki self management yang berkualitas. People management tidak akan berhasil jikalau mengelola diri sendiri saja tidak mampu. Jadi antara self management dan people management saling berkaitan. Pemimpin membutuhkan kedua kepiawaian tersebut karena pemimpin berkaitan dengan kegiatan manajemen dan faktor utama keberhasilan dalam manajemen dibidang mana pun adalah pada kecakapan mengelola diri dan orang lain. Oleh karena itu, kualitas kecakapan insaniyah mesti bagus dalam menjalankan tugas-tugas manajemen. Memperbanyak kawan dan meminilalisir lawan merupakan buah dari kecakapan insaniyah dimaksud diatas. Pelajaran yang dapat diambil dalam konteks ini adalah manakala kita mencari seorang pemimpin di bidang apapun maka hal pertama yang perlu kita cermati adalah sejauh mana kualitas soft skills (kecakapan insaniyah) kandidat tersebut. Jikalau kecakapan insansiyahnya bagus maka hampir bisa dipastikan hubungan antar manusia akan berjalan dengan baik yang pada gilirannya hasil unjuk kerjanya juga akan optimal.