Kita sama-sama sepakat bahwa tidak boleh ada yang mentolerir aksi kekerasan di negara demokrasi ini termasuk penamparan yang dilakukan Wakil Ketua Ombudsman terhadap petugas PT Gapura Angkasa di Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru Riau beberapa waktu lalu. Aksi arogan tersebut yang akhirnya membuat Ibu Azlaini Agus kini dinonaktifkan atau dibebastugaskan dari jabatan sebagai Wakil Ketua Ombudsman. Sanksi ini tentu bisa saja membuat jera yang bersangkutan dan juga menjadi peringatan bagi pejabat lain yang ringan tangan dalam arti negatif menyakiti secara fisik rakyat biasa seperti petugas bandara tersebut diatas.
Sanksi keras kepada pejabat yang keliru dalam bertindak sungguh diperlukan, namun demikian di lain pihak kita juga mesti kritis terhadap pelayanan publik yang buruk di Indonesia. Terlepas dari kasus penamparan yang sama-sama kita kutuk itu, ternyata memang pelayanan publik kita masih banyak yang buruk dan menjengkelkan. Dalam konteks kasus diatas coba bayangkan pada saat penumpang sudah baris untuk menuju pesawat karena memang sudah diumumkan tiba-tiba ada pengumuman dari petugas bahwa pesawat tidak jadi diberangkatkan alias ditunda. Ini mencerminkan koordinasi pelayanan publik di bandara itu yang memeritahinkan. Pantas saya kira kalau penumpang yang sudah berbaris merasa kecewa dan jengkel meski kemarahan tidak boleh diikuti dengan aksi main hakim sendiri.
Contoh lain yang penumpang rasakan sebagai akibat buruknya koordinasi pelayanan pihak bandara/maskapai penerbangan dialami kami (saya dan istri) sendiri tatkala kehilangan ponsel HP di pesawat Lion AIr beberapa bulan lalu. Pada saat di pesawat sebe,um mendarat di Banadara Juanda Surabaya sebenarnya pramugari telah mengumumkan bahwa telah ditemukan sebuah HP, namun oleh karena tidak menyadari bahwa HP yang diumumkan itu sebenarnya cocok dengan spesifikasi HP milik kami, sehingga kami tidak mempedulikannya. Lalu dalam perjalanan darat ke Malang baru kami menyadari ada HP kami yang hilang. Oleh karena merasa yakin bahwa barang yang ditemukan di pesawat itu tentunya nanti akan diserahkan ke bagian Lost and Found Lion Air di bandara Surabaya maka kami pun baru akan menghubungi bagian Lost and Found kemudian.
Tetapi ternyata sampai ditulisnya surat ini bagian Lost and Found Lion AIr tidak pernah menerima HP yang diumumkan di pesawat Lion AIr. Meski sudah kami sertakan nomor penerbangan dan juga bahkan berita kehilangan ini dimuat di harian lokal JATIM (Surya) tetapi tetap saja barang itu tidak kembali kepada kami. Koordinasi pelayanan antara pramugari yang menemukan barang hilang dengan bagian lost and found ternyata tidak terjadi dan mereka yang bertugas untuk melayani kastemer juga tidak berusaha untuk mencarinya dengan misalnya mengontak pramugari yang bertugas di pesawat tersebut. Sungguh pelanan publik yang menjengkelkan dan tidak profesional yang dilakukan maskapai tersebuti.
Bukan rahasia lagi bahwa kejadian seperti ini termasuk lumrah di negara kita bahwa barang yang hilang sulit ditemukan kembali meski sebenarnya sangat mudah untuk ditelusuri.Saya kira sekarang ini kita perlu lebih mendispilinkan petugas untuk bekerja lebih profesional dan melayani kastemer sepenuh hati. Karakter petugas juga perlu dibina sehingga tidak memancing kastemer yang sensiitif dan kritis terhadap haknya melakukan kekerasan fisik yang tidak dibenarkan sama sekali. Oleh karenanya perlu standarisasi pelayanan dan petugas pun bisa dikenai sanksi jika tidak menjalankan tugas secara profesional sesuai standar tersebut.
Terkait dengan pelayanan publik secara umum dan terlebih setelah kejadian penamparan petugas di bandara Pekanbaru Riau, saya kira peningkatan kualitas dalam cara petugas berinteraksi dengan kastemer juga perlu diperbaiki, setiap petugas yang berhubungan langsung dengan publik memang mesti diajarkan materi psikologi pelayanan yang membuat publik/penumpang tidak merasa nyaman dan berupaya menjauhi situasi kastemer yang merasa dipermainkan atau dibuat jengkel sebagaimana kasus tersebut diatas. Koordinasi pelayanan pun menjadi hal penting untuk dibenahi oleh manajemen pelayanan perusahaan.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk berpihak tetapi hanya ingin mengingatkan bahwa kasus pelayanan publik yang buruk sering terjadi di Tanah AIr kita tanpa ada perubahan yang signifikan, bahkan adakalanya petugas-petugas yang tidak mengerti cara melayani yang baik justeru "lebih galak" dari pada kastemer/pelanggannya itu sendiri. Budaya melayani bahwa pelanggan adalah orang penting (Customer is VIP) memang masih belum terwujud di banyak sentra pelayanan publik termasuk di perusahaan-perusahaan yang usahanya mengharuskan berhadapan dengan publik.
Penegakan disiplin dengan menerapkan sanksi keras pada kasus kekerasan terhadap petugas yang berbuntut pada pembebastugasan Wakil Ombudsman memang cukup layak, namun dipihak lain berbagai kesalahan petugas dan perusahaan penerbangan hingga mentelantarkan penumpang dengan segala ketidaknyamanan sebagaimana sering kita baca beritanya di media massa, juga patut diberikan sanksi yang setimpal agar perusahaan tidak seenaknya memperlakukan penumpang seperti itu. Apalagi kalau dalam kasus penamparan diatas pihak petugas atau perusahaan merasa "menang atau dimenangkan", berada diatas "angin" sehingga malah sikap "kaku" dan tak bersahabat dalam melayani penumpang yang berpeluang untuk tetap ditunjukkan. Padahal sebagai bangsa timur pelayanan ramah tamah dan menyenangkan menjadi budaya kita mesti tidak meninggalkan prinsip aturan main yang berlaku.