Sudah sejak dulu saya pribadi mengamati dan mempelajari perilaku pemerintah Amerika Serikat (AS) yang berambisi ikut campur urusan negara lain. Belakangan ini terkuak lagi "belang"nya perilaku intelijen AS tentang penyadapan dan spionase yang terjadi di sejumlah negara di dunia termasuk diduga kuat melakukannya di Indonesia bersama kroninya yakni Australia. Semestinya jauh-jauh hari kita sudah menyadari kebusukan yang dilakukan intelijen AS tersebut karena sudah demikian banyak contoh yang mengindikasikan bahwa AS bukanlah sahabat sejati, namun sayang pemerintah dan sebagian rakyat kita tampak masih mengelu-elukan AS dengan Presiden Obamanya. Padahal mereka terbentuk dalam worldview yang menjadikannya sebagai sekumpulan manusia ambisius yang ingin merajai dunia dan menginginkan posisi Polisi dunia.
Bung Karno Presiden RI pertama telah hafal dan mempelajari dengan cermat perilaku Pemerintah AS, sehingga beliau tidak ingin masuk perangkapnya. Beliau bersama dengan negara-negara yang baru merdeka mendirikan negara non blok yang mandiri dan tak berpihak ke manapun apalagi ke AS. Lalu Presiden Soekarno dengan garangnya melawan kepentingan-kepentingan AS di Indonesia dan di negara-negara dunia ketiga karena cara-cara AS itu disebut sebagai bentuk baru imperialisme atau dikenal dengan istilah populer neo-kolonialisme.
Dalam kesempatan ini, saya mengajak masyarakat jangan sampai tergiur dengan propaganda AS yang ingin mengglobalisasi opini dan gaya hidupnya ke negara-negara lain dan memaksakan kehendak agar negara-negara lain mengikuti keinginannya. Spionase dan intervensi AS di negeri ini sudah amat terang benderang bahkan saya pribadi mengalami sendiri bentuk campur tangan AS itu di negeri kita. Alkisah, pada tahun 1987-an tatkala saya dipercaya Mas Agung pengusaha terkenal masa itu sebagai asiten beliau. Sebagai karyawan muda yang selalu menyertai Mas Agung saya lalu "diintip" oleh Dubes AS kala itu yakni Paul Wolfowitch (yang kemudian menjadi Wamen Pertahanan AS dan Presiden Bank Dunia) untuk kemudian dikirim utusan 2 orang menemui saya di salah hotel terkemuka di wilayah lapangan banteng Jakarta.
Singkat cerita mereka ternyata ingin mengorek dari saya tentang sepak terjang Petisi 50 (kumpulan para pejuang, mantan pejabat dan tokoh yang kritis terhadap Presiden Soeharto) dan keterlibatan Mas Agung dalam mendanai kegiatan tersebut. Dengan nada agak jengkel saya katakan bahwa saya tidak tahu menahu urusan itu. Meski didesak tetap saja saya bungkam dan akhirnya kedua utusan dubes itu pergi meninggalkan saya. Sungguh ini pengalaman pahit saya dengan pemerintah AS dalam hal ini kedubes AS di Jakarta. Oleh karena itu saya amat yakin seyakin-yakinnya bahwa AS bukanlah kawan sejati dan kita mesti hati-hati karena sebagaimana pesan Bung Karno bahwa kita ini adalah negara berdaulat penuh, bangsa besar yang bebas merdeka.
AS dengan sekutu-sekutunya termasuk untuk wilayah Asia dengan menggandeng Australia perlu dicermati dengan baik oleh pemerintah. Jika Bung Karno masih hidup tentu beliau akan sangat marah kepada AS dan kaki tangannya yakni Australia. Bung Karno tentu tidak akan bersenyam senyum dengan mereka bahkan akan mendamprat mereka dengan kata-kata keras khas Bung Karno yang menunjukkan keberanian beliau sebagai pemimpin bangsa besar. Kini saatnya para elite pemimpin kita untuk memformulasi ulang hubungan bilateral kedua negara, jangan sampai dengan permintaan maaf AS atau iming-iming bantuan tertentu kemudian kita lupa dengan perbuatan-perbuatan tidak bersahabat yang mereka lakukan kepada banyak negara termasuk Indonesia yang telah berulangkali, tidak hanya kali ini saja. Kita mesti sadar sesadar-sadarnya.