Di negeri ini kita baca petunjuk jalan, nama jalan, nama sekolah, universitas dan seterusnya banyak yang menggunakan bahasa Inggris. Bahkan bahasa Inggris sangat getol digunakan masyarakat kita, mulai rakyat biasa hingga elite tertinggi negeri acapkali memakai bahasa Inggris dalam struktur kalimatnya dalam berpidato dan sebagainya, seolah tidak ada kata lain dalam bahasa Indonesia yang dapat digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Namun tidak semua yang diungkap dalam bahasa Inggris benar, sehingga kerap menjadi bahan olok-olok seperti muncul istilah vickinisasi sekedar untuk mencemoohkan orang yang senang menggunakan istilah asing tapi keliru dalam penempatannya.
Demikian pula yang terjadi di dunia pendidikan,kita saksikan nama sekolah ditulis dalam bahasa Inggris. Bahkan gelinya seringkali terjemahan bahasa Inggrisnya keliru. Misalnya menerjemahkan kelas 1, 2 di Sekolah Dasar (SD) kedalam bahasa Inggris menjadi First Class, Second Class. Terjemahan ini tidak benar dalam bisa salah paham karena pengertian 1st class, 2nd class itu tidak sama dengan kelas 1 dan kelas 2 di SD.
Saya heran, kenapa sekolah-sekolah khususnya di Jatim perlu menerjemahkan nama sekolah, kelas dan alamatnya kedalam bahasa Inggris? Padahal tidak ada orang asing yang berkunjung kesana. Lebih baik kita tulis dalam bahasa Jawa saja, justeru ini bisa mengangkat jati diri bangsa dan melestarikan bahasa daerah kita. Petunjuk jalan dan nama jalan saya usulkan untuk dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat (di Jatim pakai bahasa Jawa). Nama jalan, nama sekolah, ucapan selamat datang, terima kasih dan sebagainya yang terpampang diruang publik kita upayakan menggunakan bahasa Jawa dan kalau perlu tulisannyanya juga aksara Jawa. Negeri ini kaya dengan budaya yang beragam kita mesti bangga. Di negara-negara yang kuat jati dirinya seperti di Jepang, Thailand, Korea mereka memasyarakatkan bahasa setempat untuk nama jalan dan lain-lain yang berada di ruang-ruang publik, Ada rasa kebanggaan dengan budaya yang mereka miliki. Kita semestinya lebih bangga lagi karena kita punya lebih banyak kekayaan budaya dari pada mereka.
Semasa sebelum kemerdekaan salah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan RI dokter Ciptomangunkusomo pernah mengatakan kepada Bung Karno bahwa sebagai sebuah bangsa kita mesti memiliki jati diri bahasa persatuan. Beliau kemudian mengusulkan untuk menjadikan bahasa melayu pasar sebagai dasar untuk bahasa Indonesia dan menjadi bahasa persatuan, namun tanpa menghilangkan khas bahasa daerah masing-masing. Bahkan Bung Karno kerap dengan bangga menggunakan bahasa Jawa dengan para kawan-kawannya. Seandainya beliau berpidato dalam bahasa Inggris itu dikarenakan berada di forum intrernasional yang mengharuskan beliau menggunakan bahasa tersebut, tetapi beliau tidak mau menyelipkan dalam sturktur kalimatnya pada saat berpidato menggunakan bahasa Indonesia. Belaiu hanya memang kerap mengutip istilah bahasa Inggris tetapi sesekali karena ingin menekankan pemahaman atas isi pidatonya bukan memakai bahasa Inggris dalam struktur kalimatnya seperti yang kerap digunakan Presdien kita saat ini atau sejumlah elite dan artriskita. Mereka yang menyampur-adukkan antara bahasa Indonesia dan Inggris sangat dibenci Bung Karno dengan mereka itu adalah antek-antek Barat berbicara cas cis cus tidak punya jati dirinya sebagai bangsa Indonesia.