Tubuh yang tak pernah memperoleh asupan bergizi atau menjalani latihan fisik rutin, sebetulnya tak pernah aman dari mini-stroke. Inilah yang dialami Sarah Silverman, 24, seorang mahasiswa jurusan psikologi klinis di Nova Southeastern University, Fort Lauderdale, Florida.
Sarah yang mengaku sehat tiba-tiba tubuhnya terasa lemah. Saat itu, ia sibuk dengan aktivitas kuliah maupun praktik, sehingga nyaris tak pernah olahraga dan mengasup makanan bergizi. Suatu hari, kata Sarah, penglihatannya tiba-tiba berkunang-kunang. Jantungnya berdegup keras hingga menimbulkan rasa sakit di dada. Kedua lututnya lemas dan melengkung. Lengan dan kaki kiri seketika terasa beku hingga ia tidak bisa merasakan ujung jari tangan dan kaki.
Menurutnya, keluhan tersebut tak pernah dirasakan perempuan yang kerap beraktivitas 20 jam sehari ini. Ketika itu Sarah berpikir ia hanya perlu tidur cukup setelah kuliah selama lima hari, menjalankan terapi untuk pasien di dua rumah sakit, dan menulis disertasi. Kejadian malam itu akhirnya memaksa Sarah untuk bersitirahat selama 15 menit, sebelum akhirnya benar-benar tidur.
Keesokan paginya, Sarah merasa bingung dan tidak bisa berkonsentrasi ketika hendak beraktivitas. Kendati masih bersemangat, Sarah merasa sangat pusing dan mual, hingga memutuskan memanggil dokter pribadinya.
“Saat itu dokter mengharuskan saya segera pergi ke unit gawat darurat. Dokter merasa saya seperti menderita mini-stroke. Namun saya merasa tak mungkin hal itu terjadi. Saya masih muda dan sehat, tidak mungkin saya menderita mini-stroke,” kata Sarah.
Mengejutkan, hasil pemeriksaan menyatakan Sarah positif mengalami mini-stroke. Sarah tidak diperkenankan pulang sebelum menjalani beberapa tes. Saat itu Sarah mendapat penjelasan, mini-stroke dapat terjadi tanpa pandang usia.
Mini-stroke memiliki nama ilmiah transient ischemic attack (TIA). Menurut American Stroke Association, mini-stroke adalah tanda bahaya yang harus ditanggapi serius. Satu kali mini-stroke adalah awalan stroke sebenarnya dalam seminggu atau sebulan ke depan. TIA diakibatkan adanya gumpalan darah yang bersifat temporer dalam jangka waktu tidak terlalu lama.
Kendati begitu tidak ada cara tertentu memprediksi apakah gejala yang dialami Sarah merupakan TIA atau stroke sebenarnya. Karena itu, tindakan Sarah segera ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan sangat benar. Selanjutnya pemeriksaan MRI dan CT Scan akan menentukan apakah gejala yang dialami merupakan TIA atau stroke.
Sarah mengatakan, sangat sulit bagi dokter menentukan penyebab dirinya mengalami TIA. Hal tersebut dikarenakan Sarah tidak memiliki faktor risiko yang diperlukan seperti hipertensi, kolesterol tinggi, diabetes, sejarah darah beku atau stroke dalam keluarga. Meski begitu dokter mengatakan stres tinggi, kurang istirahat, tidak menjalani pola hidup sehat, dan kurang olahraga, sebagai pemicu utama dirinya mengalami TIA.
Untuk mengatasi gejala tersebut, Sarah diharuskan mengonsumsi aspirin setiap hari untuk mencegah darahnya kembali beku. “Dokter juga mengharuskan saya memperlambat ritme kerja. Setelah menuruti saran neurologis dan kardiologis, saya tidak perlu melanjutkan pengobatan. Namun saya perlu waktu untuk diri saya sendiri dan beristirahat,” katanya.
Berkaca dari pengalaman tersebut, Sarah berjanji tak lagi mempertaruhkan kesehatannya dengan lebih mendengarkan tubuhnya dan segera mencari pertolongan bila merasa perlu. Dan yang terpenting mulai mengubah pandangan "tiada hari tanpa bekerja".