Ade ne onyak-maik pendait bai si lemak mudi
(Apa yang kita lakukan hari ini agar mendapatkan kebaikan buat anak-cucu kelak...)
”Bismillaahirrahmaanirrahiim…” ujar H Bustahar. Lalu mulutnya komat-kamit seraya menaburkan beras kuning dan bunga-rampai ke arah rantok (antan).
Maming, perempuan di samping Bustahar, kemudian belawas (menyanyi) tentang puja-puji terhadap Sang Khalik dalam bahasa Sasak, Lombok. Lewat nyanyian, Maming memohon agar apa yang dilakukan generasi hari ini akan menjalar sebagai kebaikan pada masa datang.
Semua penonton bergeming. Dalam keheningan suara Maming ditingkahi suara seruling. Suasana bertambah magis setelah cahaya lampu menimpa tubuh-tubuh para penampil. Itulah sekelumit ritual dalam pertunjukan kesenian rantok sebagai acara pembuka Gebyar Musik NTB di Taman Budaya NTB, Mataram, Nusa Tenggara Barat, beberapa pekan lalu.
Dalam acara itu ditampilkan kesenian tiga etnis besar di NTB: Sasak, Samawa (Sumbawa), dan Mbojo (Dompu, Bima), ditambah kesenian etnis lain, seperti reog ponorogo dan barongsai. Kata Dodi Subiantoro, Kepala Pengembangan Mutu Taman Budaya NTB, pentas ini mengangkat kesenian tradisi yang mulai punah, menerima pluralisme dan multikultarisme dalam kehidupan masyarakat, sambil senantiasa merawat budaya yang telah diwariskan nenek moyang.
Salah satu wujud pewarisan budaya itu adalah seni rantok asal Desa Nyiur Lembang, Kecamatan Narmada, Lombok Barat. Rantok (mirip kareko kandai di Dompu dan Bima) adalah seni antan yang dipukulkan pada lesung secara ritmis sehingga menimbulkan bunyi seperti gamelan. Para pemain yang berjumlah 10 orang memukul bagian pinggir rantok, yang dua di antaranya bertugas sebagai dirigen atau pemugah.
Rantok secara fungsional adalah alat kerja untuk menumbuk padi dan ketan yang nantinya setelah berbentuk beras atau tepung diolah menjadi kue wajik, dodol, dan lainnya. Menu makanan ini biasanya dihidangkan saat acara puncak gawe urip, seperti pernikahan dan khitanan.
Dalam kehidupan di pedesaan, bila seorang warga mengadakan acara, beberapa hari sebelum hari puncak, epen gawe (tuan rumah) didatangi para tetangga, tua-muda, untuk ikut membantu bekerja. Jika tuan rumah sudah siap dengan bahan-bahan kuliner, rantok dipukul dengan irama tertentu, disebut rangsangan, bertujuan untuk mengundang warga berkumpul di rumah si empunya hajat.
Seperti acara pembuka tadi, seorang kiai memimpin acara pemeras, ritual memohon doa kepada Sang Khalik agar prosesi acara berjalan lancar hingga selesai. Setelah acara ritual, dimulailah acara menumbuk bahan-bahan kuliner. Suara rantok yang beradu bagaikan ensambel musik penghibur bagi pekerja sekaligus meramaikan suasana di rumah si empunya gawe.
Memang setelah 1975, dengan adanya mesin penggilingan yang hemat tenaga manusia, menumbuk padi dan ketan dengan rantok jarang dilakukan meski beberapa desa di Lombok Barat dan Lombok Utara masih mempertahankannya, terutama saat ada acara gawe belek (gawe besar), bahkan menumbuk dengan rantok menjadi bagian ritual Maulid Adat masyarakat Desa Bayan, Lombok Utara.
Seni pertunjukan
Seniman berperan besar dalam menjadikan rantok sebagai media ekspresi dan berkesenian, khususnya seni pertunjukan. ”Kami menambah beberapa vokalis dan pemain seruling sebagai alat pengiring suara rantok biar kesenian ini lebih hidup,” ucap H Warti Asmunadi, Kepala Desa Nyiur Lembang, juga Ketua Kelompok Kesenian Rantok.
Sebagai seni pertunjukan, rantok memiliki unsur drama, tarian, dan nyanyian. Sang vokalis biasanya berdendang sambil menari dan menyanyikan lagu dengan lekukan suara khas (cengkok) Sasak Lombok, diiringi irama pukulan rantok yang mirip gending Bali dan gending rudat (kesenian yang musiknya dipengaruhi unsur musik Timur Tengah). Syair yang dinyanyikan berbentuk pantun berisi nasihat, sindiran, serta kritik terhadap realitas sosial yang tumbuh dan berkembang dalam laju zaman kekinian.
Sebutlah pantun ”Ujan Mas”: rambas tereng jurang ganti (tebas bambu di Jurang Ganti (nama lokasi), durus langan jok mendura (telusur jalan ke mendura (nama lokasi), ganggas sedeng sak sengari (tinggi semampai, berusia muda lagi), turut aran lantong ruen (sejalan nama dengan paras wajahnya). Pantun ini menggambarkan perilaku yang sejatinya dimiliki tiap individu: kata dan perbuatan jadi satu.
Sumber : Kompas