Langsung ke konten utama

Sistem atau Manusianya: Mana lebih dulu?

Perdebatan sistem atau manusianya yang lebih dulu diperbaiki ibarat kita membincangkan mana lebih dulu ayam atau telur. Pihak yang sepakat dengan manusialah yang mestinya dibenahi lebih dulu beranggapan bahwa sistem dijalankan oleh manusia, jikalau manusianya sudah baik meski sistemnya buruk maka hasilnya akan tetap baik karena memiliki manusia berkualitas. Untuk hal ini maka peran pendidikan sangat penting guna menghasilkan manusia bermutu tersebut. Sebaliknya, mereka yang memilih sistem dulu yang harus diperbaiki beranggapan bahwa sistem yang baik dapat memengaruhi manusia yang ada di dalamnya untuk berperilaku baik sesuai keinginan. Dalam pandangan ini manusia pada dasarnya dapat dibentuk sebagaimana paradigma behavioristik dalam perubahan perilaku yang memungkinkan pembentukan sikap dan perilaku manusia sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu sistem dapat mengarahkan perilaku manusia menjadi baik. Dalam konteks ini kerapkali dicontohkan perilaku manusia Indonesia yang tidak tertib, semborono dalam membuang sampah, namun saat berada di Singapore mereka berubah menjadi manusia yang disiplin dan taat aturan. Hal ini dikarenakan mereka paham bahwa sistem di Singapore sangat keras sanksi hukuman dan tidak ada kompromi bagi mereka yang tidak disiplin di jalan dan membuang sampah sembarangan.

Sistem di Singapore itu berlandaskan paradigma behavioristik yang secara ilmiah dibuktikan melalui penelitian eksperimental dengan mengambil sampel sejumlah binatang seperti simpanse, anjing, merpati dan tikus untuk diamati perilakunya setelah diberikan perlakuan dan kondisi tertentu. Pola perilaku yang ditampil-tunjukkan hewan tersebut kemudian dipelajari oleh ilmuwan pengamat perilaku. Singkat cerita hasil penelitian ini kemudian digunakan oleh kelompok manusia lain terutama dalam bidang psikologi, sosiologi dan pendidikan. Dengan demikian maka perilaku binatang yang diteliti itu "disamakan" dengan perilaku manusia. Di dunia pendidikan sendiri kemudian terjadi diskursus dan perdebatan hangat, pro-kontra tentang konsep behavioritisk. Terlepas dari keberpihakan atas konsep dan teori yang dilandasi paradigma behavioristik tersebut senyatanya sistem sosial kemasyarakatan cukup banyak yang mengadopsinya.

Memang, perilaku orang yang "dibentuk" dalam sistem diatas tidak bisa dikatakan genuine dalam arti asli berasal dari kemauan diri sendiri untuk mengubah perilakunya karena terdapat unsur pemaksaan. Namun disisi lain terdapat argumen bahwa perubahan itu awalnya mesti dipaksan setelah itu akan menjadi kebiasaan yang melekat dan mendarah daging dalam kesehariannya. Selanjutnya, yang terus menjadi wacana diskusi adalah apakah periilaku yang telah berubah itu akan selamanya menetap pada dirinya atau akan kembali lagi ke perilaku semula apabila sistem sudah tidak dapat lagi membuatnya nyaman.

Sedangkan jika kita ingin membuat manusia berkualitas melalui pendidikan tentunya kita memerlukan sistem pendidikan yang memungkinkan perilaku manusia yang didik tersebut bukan berasal dari keterpaksaan melainkan kesadaran bahwa berbuat poerilaku tertentu itu memang diwajibkan terlebih lagi bersandarkan pada ajaran agama. Namun sayangnya, pendidikan yang dikembangkan di Indonesia ini cenderung bersandarkan pada paradigma behavioristik yang anak didiknya diarahkan pada perilaku-perilaku tertentu dengan cara-cara dipaksakan sebagaimana ciri khas paradigma behavioristik. Biasanya perilaku yang dibentuk pada tataran behavioristik tidak genuine dan cenderung tidak langgeng bahkan berpeluang berubah menjadi negatif.

Mendiskusikan mana lebih dulu manusia atau sistemnya memang tidak akan pernah selesai karena masing-masing memiliki argumentasi sendiri-sendiri yang bisa dikatakan sama kuat. Namun dalam tulisan kali ini saya ingin tidak memilih salah satu dari keduanya karena kedua-duanya bisa saja bagus untuk diterapkan bersama, tetapi saya ingin menyodorkan pemikiran atau pendapat tentang pentingnya pemimpin dalam mengubah kondisi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kearah yang lebih baik. Tampaknya yang Kita perlukan sekarang ini adalah memperoleh elit pemimpin/pejabat berkualitas yang mampu membentuk sistem dan mendidik manusia (rakyat) yang diurus dan dipimpinnya. Jikalau kita memiliki keteladanan para elite dan kualitas mereka itu betul-betul baik diatas rata-rata manusia Indonesia pada umumnya  dari sisi moralitas dan unjuk kerjanya, maka penerapan sistem atau pembentukan manusia Indonesia yang berkualitas bukan mustahil dapat menjadi kenyataan.

Mencari orang-orang yang berkualitas baik untuk dijadikan teladan mesti menajdi arah dalam memperbaiki kehidupan bangsa ini. Kriteria pemimpin yang baik perlu disepakati dan segera disebarluaskan. Sebenarnya orang-orang baik itu bertebaran di negeri ini hanya saja mereka memang tidak menampilkan diri sebagaimana para politkus bekerja. Orang-orang baik ini bekerja semata-mata mengharap ridho Allah SWT semata, sehingga kepentingan duniawi bagi dirinya sudah selesai. Mereka hanya ingin mengbadi dan beribadah kepada Nya. Masih banyak saya kira orang seperti ini di Tanha Air, kita mesti mampu mendapatkannya Saatnya kini kita berupaya mencari pemimpin yang baik atau dalam bahasa agama pemimpin barokah yang diberikan karunia dari Allah untuk mampu mengatasi persoalan, karena Allah akan memberikan pertolongan kepada pemimpin yang barokah. Jika para elite pemimpin kita masuk dalam kategori yang barokah maka kemenangan umat dan bangsa ini tiinggal masalah waktu semata.

Postingan populer dari blog ini

3 Golongan Besar Umat Islam

Ada tiga tipe umat terkait sikap mereka terhadap Alquran: dhalimun linafsih, muqtashid, dan saabiq bil khairaat. (1) Dhalim linafsih : Artinya orang yang menganiaya diri sendiri, yaitu mereka yang meninggalkan sebagian amalan wajib dan melakukan sebagian yang diharamkan. Seperti, orang menjalankan salat tetapi korupsi, menjalankan saum Ramadan tetapi suka riya, pergi salat Jumat tetapi menggunjing orang, membayar zakat tetapi menyakiti tetangga, membelanjai istri tetapi juga menyakitinya, berhaji tetapi menzalimi karyawan. Pendek kata, dhalimun linafsih adalah orang yang terpadu dalam dirinya kebaikan dan keburukan, yang wajib kadang ditinggalkan, yang haram kadang diterjang. (2) Muqtashid : Artinya orang pertengahan, yaitu mereka yang menunaikan seluruh amalan wajib dan meninggalkan segala yang haram, walau terkadang masih meninggalkan yang sunah dan mengerjakan yang makruh. Seluruh kewajiban ia penuhi, baik kewajiban pribadi (seperti salat, zakat, puasa, dan haji) maupun kewajiba...

Dibalik Penggunaan Abu Gosok

Abu gosok dikenal masyarakat sebagai bahan untuk mencuci peralatan dapur yang nodanya susah hilang. Biasanya penggunaannya dibarengi dengan serabut kelapa dan air hangat. Di zaman yang semakin modern saat ini jarang kita temui perempuan atau ibu rumah tangga yang masih memanfaatkan abu gosok, meskipun masih ada sebagian dari mereka di beberapa tempat seperti pedalaman desa yang menggunakannya. Seiring dengan munculnya beberapa produk kebersihan alat rumah tangga yang semakin canggih. Sehingga fungsi abu gosok sebagai pembersih alat dapur jadi bergeser dan tergantikan. Sebenarnya abu gosok ini terbilang alami karena berasal dari limbah pembakaran tumbuhan. Biasanya dari sekam padi. Kandungan kalium yang terdapat di dalam abu gosok inilah yang berperan penting dalam menghilangkan noda membandel pada ketel atau peralatan dapur lainnya. Kalium yang bereaksi dengan air menghasilkan Kalium hidroksida yang bersifat basa sehingga mampu bereaksi terhadap kotoran dan mengangkatnya keluar. ...

Berbuat Baik Terhadap Orang Lain

Kebajikan itu sebajik namanya, keramahan juga demikian, dan kebaikan itu juga sebaik perilakunya. Orang-orang yang pertama kali akan dapat merasakan manfaat dari semua perbuatan itu adalah mereka yang melakukannya hal tersebut. Mereka akan merasakan buahnya seketika itu juga di dalam jiwa, akhlak, dan nurani mereka. Sehingga mereka pun selalu lapang dada, tenang, serta merasa tenteram dan damai. Ketika kita diliputi kesedihan dan kegalauan dalam hidup, maka berbuat baiklah terhadap sesama, niscaya akan mendapatkan ketentraman dan kedamaian hati. Dengan cara, sedekahilah orang yang fakir, tolonglah orang yang terdzalimi, ringankan beban orang yang menderita, berilah makan orang yang kelaparan, jenguklah orang yang sakit, dan bantulah orang yang terkena musibah, niscaya kalian akan merasakan kebahagiaan dalam semua kehidupan yang kalian jalani. Perbuatan baik itu laksana wewangian yang tidak hanya mendatangkan manfaat bagi pemakainya, tetapi juga orang-orang yang berada di sekitarnya...