Korupsi seolah tak pernah kunjung usai, tertangkap satu lalu tertangkap lagi lebih banyak dari itu. Seolah yang baru tertangkap tidak pernah belajar pada kasus-kasus sebelumnya. Korupsi di Indonesia menyeruak disemua kalangan mulai dari level bawah hingga tingkat atas. Di level bawah kita dengan mudah menyaksikan para wong cilik yang mencari sesuap nasi seperti sopir, pedagang kaki lima dan profesi wong cilik lainnya yang diperas dan dipungli tanpa ada upaya pemerintah menlindungi mereka dan memberantas perilaku ekspoliasi tersebut. Di kalangan atas apalagi, meski gaji atau penghasilan sudah demikian besar selalu saja ada yang tidak pusa hingga melakukan tindak tercela tersebut. Kayanya sesoarang bukanlah jaminan dia tidak akan korupsi, ini sudah menjadi watak dasar manusia yang selalu ingin lebih, dikasih satu minta dua dikasih dua minta tiga begitu seterusnya. Fenomena perilaku manusia macam ini pantas untuk disebut SERAKAH alias tamak bin kemaruk.
Yang menjadi tidak abis pikir adalah mengapa demikian banyak pejabat negara yang terperosok di lubang yang sama yakni korupsi. Padahal, sudah sangat jelas diberitakan dan ditayangkan di televisi secara berulang-ulang yakni bagaimana petugas KPK bekerja mulai dari penyadapan telepon para penyadap hingga gerak-gerik spionase untuk menangkap basah sang pejabat yang melakukan korupsi itu. Namun, tampaknya para pejabat masih saja tidak menyadari hal itu akan terjadi pada dirinya jika yang bersangkutan bermain api dengan menyalahgunakan wewenangnya sebagai pejabat negara, maka ketangkap hanyalah masalah waktu belaka.
Apabila ditelusuri mengapa para pejabat kita asyik masyuk dengan perbuatan nista ini, maka kita bisa menganalisisnya paling tidak dalam beberapa hal. Pertama, kebiasaan orang kita adalah memiliki sebnayak-banyaknya teman, kekeluargaan menjadi ciri khas bangsa ini, beda dengan orang Barat (Eropah dan Amerika) yang bersifat dingin dengan orang lain. Sifat-sifat ingin membantu dan berkawan baik dengan orang lain sedikit banyak membentuk pribadi bangsa untuk berempati kesulitan kawan atau orang lain yang dikenal langsung baik karena sesama asal daerah, partai atau kelompok lainnya. Mungkin sifat-sfat ini bisa jadi mempercepat seseorang terlebih lagi dalam posisi menjabat untuk melakukan tindakan korupsi tersebut.
Kedua, aturan tidak dibuat secara ketat untuk pejabat publik dan pejabat negara yang rentan melakukan penyalahgunaan jabatan. Semestinya begitu seseorang ditunjuk menjadi pejabat maka sudah ada mekanisme yang "mengekang" yang bersangkutan untuk tidak dapat sembarangan menerima tamu, menerima telepon dan hal lain yang dapat mengganggu tugasnya. Mekanisme ini mesti disusun dan disosialisasikan secara ketat dan terukur agar orang lain yang tidak berkepentingan dicegah untuk dapat melakukan kontak langsung dengan sang pejabat pembuat keputusan. Mekanisme pengawasan semacam ini jikalau pun sudah ada perlu dipertanyakan efektivitas penerapannya, sehingga mesti dikaji ulang pelaksanaannya.
Ketiga, ruang kerja para pejabat dan tindak tanduk mereka semestinya mudah dikontrol melalui CCTV dan perlu terus menerus diingatkan akan pengawasan yang dilakukan kepada para pejabat negara karena manusia memiliki sifat lalai yang manusiawi dan jika tidak diingatkan kerap kali melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Oleh karena itu pengendalian perilaku mesti diperlukan. Upaya pencegahan mestinya menjadi acuan dalam pemberantasan korupsi, oleh karena itu celah-celah yang memungkinkan terjadinya korupsi perlu ditutup dan diantisipasi agar tidak menjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Keempat, korupsi terjadi tidak terlepas dari perilaku manusia yang merasa apa yang dilakukan tidak melanggar karena menyatu dengan sifat perbuatan manusia Indonesia yang senang membantu meski keliru dalam menerapkannya. Oleh karena itu, dalam konteks ini budaya cuek, fokus hanya pada pekerjaan dan tidak menggubris hal lain diluar pekerjaaannya perlu ditumbuh-kembangkan khususnya bagi para pejabat yang terkait dengan pengambilan keputusan hukum. Seorang penegak hukum seperti ketua MK memang tidak memerlukan untuk memiliki daya empati berlebih karena khusus untuk penegak hukum yang diutamakan adalah faktor obyektivitas bukan subyektivitas. Oleh karena itu, sosok seorang penegak hukum mestilah memiliki sifat kaku, tegas dan tanpa kompromi. Sifat-sifat semacam ini memang diperlukan untuk para penegak hukum sehingga tidak mudah didekati melalui jalur hubungan interpersonal. Kecakapan interpersonal penegak hukum harus beda dengan pejabat yang mengurusi masalah pelayanan sosial, oleh karena itu penegak hukum tidak boleh banyak "kongkow" dan memiliki teman yang membuat solidaritas ekslkusif yang dapat memengaruhinya dalam mengambil keputusan. Pergaulan sosial dibatasi apalagi jika yang bersangkutan menjabat dalam posisi yang amat penting seperti di Makhamah Konstitusi.