Hal lain yang perlu dikeepankan dalam ruang ini adalah ciri-ciri khas huku Islam itu sendiri. Fathi Ridhwan, dalam bukunya “Min Falsafah al-Tasyri al-Islam” menyatakan bahwa ciri-ciri khas hukum Islam ada tiga macam yakni:
- Manusiawi (insani). Islam disyariatkan bukanlah sekedar membawa kemaslahatan, tetapi juga untuk memenuhi tabiat manusia, baik yang berlahiriyah maupun batiniah.
- Bermoral (akhlaqi). Maksudnya adalah bahwa hukum Islam itu berpijak pada kode etik yakni suatu ciri yang mendudukkan kehormatan Tuhan dan sesame manusia secara roposional sehingga masing-masing kelompok merasa dihargai dan diakui eksistensinya.
- Universal, yang maksudnya adalah hukum Islam mencakup totalitas masyarakat yang ada tanpa mendiskriminasikan bangsa dan suku.
Lebih jauh lagi yang perlu dikedepankan adalah tentang watak-watak yang dimiliki oleh hukum Islam. Antara lain, yaitu takamul (kesempurnaan), wasatiyah (keharmonisan), dan harakah (dinamis).
Islam disyariatkan kepada Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya merupakan penyempurna bagi agama-agama sebelumnya, karena Islam yang saat ini telah dipelajari oleh seluruh manusia yang mengakuinya adalah agama wahyu terakhir dan tidak akan berubah sampai akhir nanti.
Hukum Islam mampu menghimpun segala studi dan aspek yang berbeda-beda didalam suatu kesatuan, sehingga hukum Islam itu bersifat syumul (universal) yang dapat melayani semua golongan (bangsa) di planet bumi. Betapa banyak indikasi yang mengisyaratkan kesempurnaan ajaran Islam yang bersumber pokok dari Yang Maha Segala-galanya yang meliputi berbagai ranah kehidupan. Misalnya, akidah, politik-ketatanegaraan, sosial-kemasyarakatan, budaya, pertahanan-keamanan, kependudukan, kesehatan, kehakiman, perekonomian, dan lain sebagainya. Khusus yang berkaitan dengan ranah perekonomian (bisnis), disyariatkan hukum jual-beli, diharamkannya praktik riba.
Lebih dari itu Islam mewajibkan zakat dari hasil usaha (corporate), hasil pertambangan, hasil pertanian, dan lain sebagainya yangh kesemuanya itu mempunyai nilai bisnis guna memenuhi kebutuhan hidup manusia. Semua ini merupakan indikasi disyariatkannya kerja yang berbasis ekonomi yang diajarkan dalam Islam.
Apabila dicermati, banyak didapati didalam hukum Islam yang selalu mengambil jalan tengah, jalan seimbang yang tidak memberatkan salah satunya, menyelaraskan antara yang ideal dan factual, yang empiric dan metaempirik, jasmani dan rohani, dan sebagainya. Indikasi karakter wastiyah ini antara lain, hukum Islam tidak memihak hukum nasrani dan hukum Yahudi, tetapi mengambil jalan tengah.
Selain itu, hukum Islam menempatkan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya secara proporsional. Hanya saja Islam Mengajarkan agar manusia sebelum menuntut haknya, terlebih dahulu harus menunaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Dalam membelanjakan harta, umat Islam tidak boleh berlebih-lebihab dan tidak tidak boleh juga terlalu sedikit.
Selain itu yang tidak kalah pentingnya, bahwa Allah swt memberikan taklif kepada umat Muhammad SAW seimbang dengan balasan yang diterimanya. Inilah kiranya gambaran yang mencerminkan aspek keharmonisan atau keseimbangan yang sangat ditekankan di dalam ajaran Islam.
Hukum Islam mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya tahan hidup yang tak terbatas karena sumber pokoknya adalah Allah swt. Bahkan hukum Islam dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zman dimanapun dan kapanpun saja.
Dengan dibukanya pintu ijtihad yang bias dilakukan oleh orang yang kompeten, maka hukum Islam mampu menjawab segala tantangan masa, dapat memenuhi harapan zaman dengan tetap memelihara kepribadian dan nilai-nilai asasinya. Sekalipun dikatakan bahwa hukum Islam memiliki nilai samawi yang bersifat absolut dan universal tetapi ia juga mengakui adanya perbeaan konfigurasi hukum. Semangat keabsolutan dan keuniversalan hukum Islam tetap dipertahankan, sedangkan konfigurasi dari hukum itu dapat didinamisir, guna menghindarkandari kebekuan dan kelambanan yang dapat menghambat kreativitas individu, sehingga penekanannya ditujukan pada penyesuaian tuntunan perubahan, agar esensi dari hukum Islam dapat dikembangkan dalam situasi yang senantiasa berubah-ubah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada intinya hukum islam, dalam hal-hal tertentu dapat disesuaikan dengan keadaan yang berubah, sekalipun perlu diakui ada wilayah permanen yang mustahil secara syar’I untuk dirubah. Wilayah yang tidak mungkin berubah itu menyangkut ranah tauhid dan ibadah murni yang telah jelas hukumnya. Seangkan untuk ranah diluar kedua wilayah itu Islam masih memberi ruang ijtihad sesuai dengan ketentuan, misalnya masalah ekonomi yang selalu berkembanhg yang seringkali tidak ditemukan hukumnya secara langsung dan jelas di dalam sumbet-sumber hukum yang ada khususnya Al-Quran dan sunnah.
Karena itu dengan melihat watak kedinamisan hukum Islam itu akhirnya dikenal kaidah usuliah yang menyatakan ‘perubahan huku menurut perubahan zaman, tempat, dan keadaan. Dengan tidak ada motif untuk melebih-lebihkan kevenaran hukum Islam disbanding dengan hukum yang lain, akan tetapi karena hukum Islam itu bersumber dari Allah swt maka kualitas kebenarannya jelas tidak perlu diragukan lagi. Sehingga akhirnya muncul istilah qathi’ (absolut) dan dzanni (relatif). Di dalam studi hikmatus syar’i biasanya diajarkan rahasia-rahasia hukum itu. Oleh karena itu untuk memudahkan para pelaku bisnis muslim agar terdorong mengikuti ajaran syariat, bagaimana mereka harus yakin bahwa segala ketentuan-ketentuan syar’iyang berkaitan dengan bisnis akan banyak mengandung niali dan hikmah yang tidak bahkan sulit dipahami. Mereka harus yakin bahwa nilai dan hikmah itu bukanlah untuk siapa, tetapi untuk diri mereka sendiri, tridak saja di dunia, namun kelak di akhirat. Hal ini sebagai refleksi sifat rahman Allah st yang siap diberikan kepada siapapun yang mau berusaha dan mengikuti ajaran-Nya.