Langsung ke konten utama

Catatan Kecil dalam Mendidik Anak

muslimah-didik-anak

Ada seorang sahabat, pengantin baru yang alhamdulillah tanpa menunggu lama telah diamanahi kehamilan, mari kita doakan semoga beliau dan suami serta anak yang dikandung senantiasa dalam lindungan dan pertolongan Allah. Sahabat saya ini tengah semangat-semangatnya menyiapkan bekal untuk menjadi orang tua terbaik, semoga Allah Swt. mengabulkan apa yang ia cita-citakan.

Sahabat di atas mengirimi saya tulisan dari seorang blogger, tema tulisan berkenaan cara mendidik anak, tulisan tersebut cukup menginspirasi, namun rupanya isi tulisan masih menyisakan kegelisahan di benak sahabat saya. Melalui tulisan ini saya mencoba berbagi sudut pandang berkenaan tema tersebut, semoga bermanfaat.

Anak dan “Menjadi Orang Tua”

Banyak ahli psikologi yang berbeda pendapat terkait rentang usia sehingga seseorang bisa disebut anak. Saya tak akan mempermasalahkan hal ini lebih jauh karena saya merasa ada hal lain yang lebih penting dibanding hal ini, pembahasan anak “mau jadi apa” saya rasa lebih menarik dan relevan.

Anak adalah titipan, modal bagi sepasang suami istri−sengaja saya membahasakan “suami istri” karena sering kita temukan suami istri yang belum mencapai derajat “orang tua”−untuk beroleh surga atau neraka. Menjadi anak tak perlu syarat, lain halnya untuk menjadi orang tua, suami istri harus bersusah payah, dan keberadaan anak menjadi prasyarat untuk mencapainya.

Anak itu modal, hal yang penting dalam mengelola modal (anak) adalah kesiapan dan kecakapan sang pengelola modal (suami istri). Kesiapan berawal dari kesediaan menjadi orang tua, sedangkan kecakapan tak akan hadir tanpa adanya iman dan ilmu. Dengan iman, tak akan kehilangan arah, semata lillah. Dan hanya dengan ilmu, ikhtiar kita akan bermutu.

Tanpa iman dan ilmu kita bisa lelah hanya karena marah, bisa mudah capek hanya karena hal sepele. Keajaiban yang bisa dihadirkan iman dan ilmu, kita masih bisa berpuas hati dan menampilkan wajah berseri, sepelik dan sesakit apapun ujian yang dilewati.

Saya berpendapat “orang tua” itu ibarat kata kerja. Seseorang boleh saja bertambah tua, namun belum tentu bertambah dewasa, harus ada ikhtiar di sana. Kita boleh saja menyebut diri sebagai orang tua, tapi tanpa mujahadah dapatkah kita menjadi orang tua? Bukankah menjadi orang tua lebih berarti dibanding disebut orang tua?

Mendidik Anak Mengenal Allah

Mengenalkan Allah kepada anak menjadi tugas pertama orang tua. Dari sejak kandungan sudah dibacakan ayat-ayat Quran, bukan Mozart atau musik-musik klasik, karena alunan firman Allah pastilah yang terbaik. Saat anak mulai pandai meminta ini dan itu, jangan sampai kita mengumbar kesaktian uang, misal “Nanti nak, ayah belum punya uang”, betapa saktinya uang dalam benak anak jika kalimat semacam ini yang sering diumbar, akan tergambar dalam pikiran anak betapa uang bisa memberi ini dan itu. Wahai orang tua, lebih baik katakanlah, “Iya Nak tolong bantu doakan ayah, moga Allah memberi ayah rezeki untuk membelikan barang yang kamu minta”, tentu jika hal ini dibiasakan akan terbayang di benak anak betapa hebatnya Allah yang bisa memberi ini dan itu. Di setiap saat selalu kenalkan Allah, seperti ucapan seorang ustadz, Allah dulu, Allah lagi, Allah terus.

Memfasilitasi Anak

Banyak orang tua yang menginginkan anaknya tak sesusah dirinya waktu dulu, ini tentu suatu niatan mulia. Namun, pemberian fasilitas harus diiringi kebijaksanaan dan demi maslahat yang lebih besar. Anak diberi kemudahan dalam beberapa kondisi untuk menandakan bahwa orang tua memang mencintainya dan rela berkorban untuknya. Kemudahan fasilitas yang diberikan kepada anak adalah peluang bagi orang tua untuk meninggalkan kesan baik di benak anak, kesan yang baik tentu akan menumbuhkan dan membesarkan cinta dan sayang.

Kemudahan adalah satu sisi, tak akan seimbang jika tanpa sisi lainnya, sisi lainnya ialah kesulitan. Anak dalam beberapa kondisi perlu dididik dengan kesulitan untuk mengenal susah payah, juga belajar kesabaran dan kerelaan berkorban. Kebijaksanaan amat penting dalam mendidik anak dengan kemudahan dan kesulitan. Jangan sampai keberadaan fasilitas membuat anak menjadi terlena bahkan manja, juga jangan ketiadaan fasilitas membuat anak sampai merana. Menikmati kemudahan bukanlah dosa, mengalami kesulitan bukanlah nista, kemudahan atau kesulitan merupakan ujian. Pilihlah hal-hal substansial yang harus dihadirkan dalam bentuk kemudahan dan kesulitan, dengan sarana kemudahan dan kesulitan biarkan anak berkembang.

Kemudahan dan kesulitan ialah satu paket, hidup akan mensyaratkan kemudahan dan kesulitan. Manusia akan lemah jika terus ditekan tanpa diberi kemudahan, juga manusia akan jumawa jika tak pernah diberi kesulitan, kemudahan dan kesulitan sama pentingnya. Namun ada hal yang lebih penting dibanding kemudahan dan kesulitan, yaitu kesadaran bahwa segala sesuatu yang kita terima ialah ujian yang kelak dimintai pertanggungjawaban.

Sumber: http://www.dakwatuna.com

Postingan populer dari blog ini

3 Golongan Besar Umat Islam

Ada tiga tipe umat terkait sikap mereka terhadap Alquran: dhalimun linafsih, muqtashid, dan saabiq bil khairaat. (1) Dhalim linafsih : Artinya orang yang menganiaya diri sendiri, yaitu mereka yang meninggalkan sebagian amalan wajib dan melakukan sebagian yang diharamkan. Seperti, orang menjalankan salat tetapi korupsi, menjalankan saum Ramadan tetapi suka riya, pergi salat Jumat tetapi menggunjing orang, membayar zakat tetapi menyakiti tetangga, membelanjai istri tetapi juga menyakitinya, berhaji tetapi menzalimi karyawan. Pendek kata, dhalimun linafsih adalah orang yang terpadu dalam dirinya kebaikan dan keburukan, yang wajib kadang ditinggalkan, yang haram kadang diterjang. (2) Muqtashid : Artinya orang pertengahan, yaitu mereka yang menunaikan seluruh amalan wajib dan meninggalkan segala yang haram, walau terkadang masih meninggalkan yang sunah dan mengerjakan yang makruh. Seluruh kewajiban ia penuhi, baik kewajiban pribadi (seperti salat, zakat, puasa, dan haji) maupun kewajiba...

Dibalik Penggunaan Abu Gosok

Abu gosok dikenal masyarakat sebagai bahan untuk mencuci peralatan dapur yang nodanya susah hilang. Biasanya penggunaannya dibarengi dengan serabut kelapa dan air hangat. Di zaman yang semakin modern saat ini jarang kita temui perempuan atau ibu rumah tangga yang masih memanfaatkan abu gosok, meskipun masih ada sebagian dari mereka di beberapa tempat seperti pedalaman desa yang menggunakannya. Seiring dengan munculnya beberapa produk kebersihan alat rumah tangga yang semakin canggih. Sehingga fungsi abu gosok sebagai pembersih alat dapur jadi bergeser dan tergantikan. Sebenarnya abu gosok ini terbilang alami karena berasal dari limbah pembakaran tumbuhan. Biasanya dari sekam padi. Kandungan kalium yang terdapat di dalam abu gosok inilah yang berperan penting dalam menghilangkan noda membandel pada ketel atau peralatan dapur lainnya. Kalium yang bereaksi dengan air menghasilkan Kalium hidroksida yang bersifat basa sehingga mampu bereaksi terhadap kotoran dan mengangkatnya keluar. ...

Berbuat Baik Terhadap Orang Lain

Kebajikan itu sebajik namanya, keramahan juga demikian, dan kebaikan itu juga sebaik perilakunya. Orang-orang yang pertama kali akan dapat merasakan manfaat dari semua perbuatan itu adalah mereka yang melakukannya hal tersebut. Mereka akan merasakan buahnya seketika itu juga di dalam jiwa, akhlak, dan nurani mereka. Sehingga mereka pun selalu lapang dada, tenang, serta merasa tenteram dan damai. Ketika kita diliputi kesedihan dan kegalauan dalam hidup, maka berbuat baiklah terhadap sesama, niscaya akan mendapatkan ketentraman dan kedamaian hati. Dengan cara, sedekahilah orang yang fakir, tolonglah orang yang terdzalimi, ringankan beban orang yang menderita, berilah makan orang yang kelaparan, jenguklah orang yang sakit, dan bantulah orang yang terkena musibah, niscaya kalian akan merasakan kebahagiaan dalam semua kehidupan yang kalian jalani. Perbuatan baik itu laksana wewangian yang tidak hanya mendatangkan manfaat bagi pemakainya, tetapi juga orang-orang yang berada di sekitarnya...