Seringkali kita mendengar bahwa perguruan tinggi di Indonesia masih belum maju. Berbagai survey menunjukan bahwa, kualitas kampus-kampus di Indonesia belum bisa menandingi perguruan tinggi besar dan maju di dunia. Mengikuti ranking perguruan tinggi di dunia, urutannya masih terlalu jauh, dan bahkan belum tampak di jajaran tingkat dunia. Beberapa saja yang masuk, nomornya jauh di belakang.
Melihat prestasi rendah itu, yang banyak dilakukan orang adalah mengrikitk, baik kepada pemerintah dan kepada pengurus kampus. Pemerintah dianggap kurang memperhatikan perguruan tinggi. Demikian pula pemimpin perguruan tingginya dinilai kurang memiliki prakarsa, visi kemajuan, dan seterusnya. Atas penilaian itu, kiranya perlu dilihat secara lebih jernih, apa sebenarnya yang menjadikan perguruan tinggi di Indonesia tidak cepat bergerak maju.
Umpama prestasi perguruan tinggi itu dilihat dari aspek kuantitas dan partisipasi masyarakatnya, maka Indonesia akan menjadi jagoan. Kiranya tidak pernah ada sebuah negara yang memiliki perguruan tinggi hingga ribuan jumlahnya. Juga tidak ada partisipasi masyarakat yang sebesar Indonesia dalam membangun perguruan tinggi. Jumlah perguruan tinggi swasta di Indonesia melebihi angka dua ribu. Semua dibiyai oleh masyarakat. Oleh karena itu dalam hal menambah jumlah, Indonesia akan masuk ranking dunia, tetapi belum pada ranking kualitas.
Melihat jumlah perguruan tinggi yang sedemikian banyak itu, maka untuk meningkatkan kualitasnya tidak akan mudah. Apalagi dana yang tersedia di pemerintah juga tidak pernah berlebih. Banyak aspek yang harus diselesaikan agar perguruan tinggi Indonesia mampu bersaing dengan perguruan tinggi di dunia. Mengharapkan ribuan perguruan tinggi yang ada itu menjadi besar semua adalah tidak mungkin. Maka alternatifnya adalah memberikan penugasan kepada beberapa saja yang bisa didorong maju, agar bersaing tingkat global.
Beberapa perguruan tinggi dimaksud juga sekaligus dipandang sebagai pilot project atau percontohan. Mungkin lima sampai sepuluh perguruan tingggi saja yang dimajukan sebagai percontohan itu. Mereka itu diberi mandat khusus untuk bersaing tingkat dunia. Agar mandat itu bisa ditunaikan, maka mereka diberi otonomi yang seluas-luasnya, termasuk dalam upaya menggali pendanaan untuk mencukupi kebutuhannya, baik terkait dengan laboratorium, tenaga dosen, sarana dan prasaranya, dan lain-lain. Kebebasan menggali dana juga tidak dimaksudkan untuk mengurangi beban dan tanggung jawab pemerintah.
Mahasiswa perguruan tinggi pilihan itu juga terseleksi secara ketat. Hanya orang-orang yang hebat saja yang diterima masuk. Perguruan tinggi ini tidak perlu ikut ngurus nasip orang tidak mampu, pemerataan, dan lain-lain. Perguruan tinggi ya perguruan tinggi, sehingga logika yang digunakan adalah logika perguruan tinggi. Sementara ini pewrguruan tinggi juga harus berpikir kuantitas untuk memenuhi target, harus ikut mengurus orang-orang tidak mampu yang mau bersekolah, mempertimbangkan pemerataan, kepentingan daerah, dan seterusnya.
Atas dasar keinginan memenuhi tuntutan tersebut, maka sekedar pendaftaran menjadi mahasiswa saja, perguruan tinggi harus membuka berbagai pintu atau jalur. Ada jalur bebas bagi semua orang tanpa dipungut biaya, jalur test tulis, jalur mandiri, jalur pemerataan, jalur titipan dari pemerintah daerah, dan lain-lain hingga sulit dikenali dan apalagi dihapalkan. Akhirnya perguruan tinggi tidak saja memikirkan hal mendasar seperti, bagaimana meningkatkan kualitas risetnya, membangun jaringan komunikasi dengan berbagai pihak, publikasi karya ilmiah, tetapi juga harus menyelesaikan hal-hal lain yang tidak terlalu strategis.
Perguruan tinggi pilot project tidak perlu diikutkan untuk memenuhi berbagai tuntutan itu. Mereka harus berorientasi pada kualitas. Siapapun dan apapun yang berkualitas dengan ukuran-ukuran logis, terbuka untuk diuji, dan obyektif, maka akan diterima. Dengan begitu, maka perguruan tinggi dimaksud akan mampu meningkatkan kualitas. Hasilnya akan mengangkat citra dan sekaligus sebagai bukti, bahwa bangsa Indonesia juga mampu membuat perguruan tinggi unggul di tengah persaingan dunia. Dari lembaga pendidikan tinggi ini diharapkan menghasilkan lulusan berkualitas, temuan-temuan baru, dan bahkan ada di antara guru besarnya berhasil mendapatkan hadiah nobel.
Selain perguruan tinggi yang dijadikan pilot project tersebut, masih ada perguruan tinggi lainnya yang diorientasikan untuk pemerataan, mengangkat orang yang kurang mampu, memenuhi kuota, dan seterusnya. Mengikuti manajemen haji, maka ada haji Plus, haji biasa, dan haji lain-lain. Demikian pula perguruan tinggi bisa diperlakukan seperti manajemen haji itu. Rupanya, pada saat sekarang ini, semua perguruan tinggi akan diratakan. Memang sesuatu yang merata itu baik, tetapi berakibatnya, tidak akan ada sesuatu yang kelihatan.
Perguruan tinggi yang terlalu banyak beban, maka akibatnya lama kelamaan, orientasinya akan menjadi kabur. Dengan banyak tuntutan, perguruan tinggi harus menanggung beban yang semakin berat. Mereka harus menghadapi gaji dan tunjangan dosen yang belum mencukupi untuk menopang tugas-tugas yang bersifat peningkatan kualitas, misalnya untuk riset, menghadiri pertemuan ilmiah, menjalin komunikasi sesama ahli, dan seterusnya. Sebagai akibat keterbatasan itu, perguruan tinggi akhirnya hanya menunaikan tugas-tugas apa adanya.
Akibat adanya keterbatasan dan belum lagi birokrasi pemerintah yang terlalu rumit yang harus dihadapi, maka Inovasi atau pembaharuan untuk mengikuti tuntutan zaman menjadi tidak semua terjawab. Itulah di antara tugas tambahan perguruan tinggi hingga menjadi sulit maju, bersaing dengan perguruan tingggi besar di dunia. Keadaan seperti itu bisa diselamatkan manakala terdapat beberapa yang dijadikan pilot project, sebagai unggulan dan sekaligus juga contoh perguruan tinggi yang sebenarnya.