Langsung ke konten utama

Cinta, Perjuangan, dan Pengorbanan

Pagi ini, muncul dalam ingatan saya tentang tiga kata yang berbeda tetapi saling bersinggungan erat, yaitu cinta, perjuangan, dan pengorbanan. Tatkala seseorang mencintai sesuatu, maka selalu saja ingin mendekat, dan bahkan memilikinya. Seorang yang mencintai lawan jenisnya, maka akan berusaha mendekat dan juga memiliki. Manakala usaha itu tidak mudah dilakukan, maka ia berusaha berjuang dan bahkan jika perlu, apapun dikorbankan untuk memenuhi tuntutan batinnya itu.

Sebagai contoh sederhana, kita seringkali melihat perilaku seorang anak laki-laki yang sangat mencintai seorang anak perempuan. Apapun dilakukan demi cintanya itu. Umpama saja orang tuanya tidak menyetujui suara batinnya itu, ia tidak akan segera menyerah, melainkan akan berjuang hingga halangan itu bisa ditaklukkan. Cinta tidak bisa dihalangi dengan larangan, peraturan, ancaman, hukuman, undang-undang, dan bahkan resiko apapun.

Seseorang bersedia melakukan apa saja demi memenuhi cintanya. Tembok yang tinggi akan dilompati, jarak yang sedemikian jauh tetap akan ditempuh, sanggup mengarungi lautan yang luas, dan seterusnya, yang semuanya itu demi memenuhi dorongan cintanya. Cinta akhirnya menjadi kekuatan dahsyat yang mampu menggerakkan kemauan seseorang. Cinta menjadi kekuatan untuk melahirkan perjuangan dan sekaligus pengorbanan.

Dahulu, para pejuang kemerdekaan sangat mencintai bangsa dan negaranya. Mereka tahu dan sadar, bahwa negerinya sedang dijajah atau dikuasai oleh bangsa lain. Maka, apapun bentuk dan jenis senjata yang dimiliki, mereka berani melawan penjajah. Para pejuang itu tidak takut mati tatkala perang melawan penjajah yang memiliki senjata modern. Mereka tahu akibat terkena peluru, yaitu akan mati. Namun, didorong oleh kecintaannya terhadap kemerdekaan bangsanya sendiri, maka mereka berani menanggung resiko apapun.

Seorang santri sedemikian hormat, patuh dan loyal kepada kyai, oleh karena kecintaannya terhadap ilmu dan kesalehannya. Tatkala bertemu kyainya, para santri segera mendekat dan berjabat tangan dengan tawadhu’ atau merendah. Oleh para santri dipeganglah tangan kyai dan diciumnya sebagai tanda hormat dan kecintaannya. Apapun yang diperintahkan oleh kyai, maka para santri segera melaksanakan dengan penuh ikhlas, apapun jenis perintah itu. Atas dasar kecintaannya, para santri berusaha menyenangkan hati kyai, agar mendapatkan manfaat dari ilmunya.

Akhir-akhir ini rupanya muncul gejala, bahwa banyak orang sangat mencintai harta secara berlebihan. Kecintaan secara berlebihan itu menjadikan apa saja dikaitkan dengan harta kekayaan. Orang mencari ilmu, kekuasaan, merantau ke tempat yang jauh, hanya sekedar agar menghasilkan banyak uang atau harta kekayaan. Mencari ilmu bukan lagi untuk memperoleh hikmah, dan demikian pula mendapatkan jabatan bukan untuk pengabdian. Begitu pula pergi jauh bukan untuk menjalin silaturrahmi, melainkan untuk mendapatkan uang semata.

Di tengah-tengah gelombang orang mengejar dan mencintai harta secara berlebihan, maka Ilmu pengetahuan, jabatan, pangkat, dan profesi, bukan lagi digunakan untuk pengabdian, melainkan dijadikan sarana untuk mengumpulkan kekayaan. Akibatnya, Ilmu, jabatan, profesional, menjadi komuditas atau barang dagangan, yakni dianggap wajar diperjual belikan. Lebih memprihatinkan lagi, jabatan sebagai pemimpin masyarakat atau wakil rakyat bukan lagi diperoleh atas dasar kepercayaan, sifat amanah, kapabilitas, keikhlasan, dan ketulusan yang disandangnya, melainkan dengan jalan membeli. Istilah membeli suara, sekalipun terdengar aneh, sudah dianggap sebagai sesuatu yang lazim.

Sebagaimana lazimnya, kecintaan selalu melahirkan perjuangan dan pengorbanan. Maka demikian pula, kecintaan terhadap harta. Hanya karena terlalu mencintai harta, orang berani berbuat curang, manipulasi, dan juga korupsi. Mereka sebenarnya tahu, bahwa resiko melakukan korupsi akan dipenjarakan. Namun oleh karena kecintaannya terhadap harta itu, maka resiko itu diabaikan. Mereka juga tahu, bahwa harkat dan martabatnya akan runtuh tatkala seseorang berurusan dengan KPK dan penjara. Akan tetapi lagi-lagi, kecintaannya terhadap harta tidak mampu mengurangi rasa khawatir dan takut akan kehilangan harga dirinya itu.

Kecintaan terhadap harta secara berlebihan ternyata bukan saja dimiliki oleh orang-orang tertentu, melainkan bisa saja menimpa terhadap semua kalangan. Semua orang berkemungkinan jatuh mencintai harta secara berlebihan, baik orang cerdas, pejabat, wakil rakyat, tokoh agama, dan bahkan juga bagi orang yang telah memiliki harta melimpah. Oleh karena itu tidak sulit dimengerti tatkala terdapat oknum menteri, gubernur, bupati, direktur bank, pejabat BUMN, polisi, tentara, dan bahkan oknum KPK, dan juga tokoh agama tersandung kasus korupsi.

Para pelaku korupsi itu bukan tidak mengerti bahwa korupsi itu adalah jelek, buruk dan nista, melainkan oleh karena mereka sedang mencintai harta secara berlebihan. Atas dasar kecintaannya itu, mereka berjuang dan berkorban untuk mendapatkan apa yang terlalu dicintainya itu. Itulah di antara sebabnya, memberantas korupsi dirasakan menjadi sangat sulit. Pekerjaan itu sama halnya dengan melarang orang mencintai sesuatu. Sementara itu, cinta, di mana dan kapan pun selalu diperjuangkan dan diikuti oleh kesediaan berkorban atau menanggung segala resikonya.

Postingan populer dari blog ini

3 Golongan Besar Umat Islam

Ada tiga tipe umat terkait sikap mereka terhadap Alquran: dhalimun linafsih, muqtashid, dan saabiq bil khairaat. (1) Dhalim linafsih : Artinya orang yang menganiaya diri sendiri, yaitu mereka yang meninggalkan sebagian amalan wajib dan melakukan sebagian yang diharamkan. Seperti, orang menjalankan salat tetapi korupsi, menjalankan saum Ramadan tetapi suka riya, pergi salat Jumat tetapi menggunjing orang, membayar zakat tetapi menyakiti tetangga, membelanjai istri tetapi juga menyakitinya, berhaji tetapi menzalimi karyawan. Pendek kata, dhalimun linafsih adalah orang yang terpadu dalam dirinya kebaikan dan keburukan, yang wajib kadang ditinggalkan, yang haram kadang diterjang. (2) Muqtashid : Artinya orang pertengahan, yaitu mereka yang menunaikan seluruh amalan wajib dan meninggalkan segala yang haram, walau terkadang masih meninggalkan yang sunah dan mengerjakan yang makruh. Seluruh kewajiban ia penuhi, baik kewajiban pribadi (seperti salat, zakat, puasa, dan haji) maupun kewajiba...

Dibalik Penggunaan Abu Gosok

Abu gosok dikenal masyarakat sebagai bahan untuk mencuci peralatan dapur yang nodanya susah hilang. Biasanya penggunaannya dibarengi dengan serabut kelapa dan air hangat. Di zaman yang semakin modern saat ini jarang kita temui perempuan atau ibu rumah tangga yang masih memanfaatkan abu gosok, meskipun masih ada sebagian dari mereka di beberapa tempat seperti pedalaman desa yang menggunakannya. Seiring dengan munculnya beberapa produk kebersihan alat rumah tangga yang semakin canggih. Sehingga fungsi abu gosok sebagai pembersih alat dapur jadi bergeser dan tergantikan. Sebenarnya abu gosok ini terbilang alami karena berasal dari limbah pembakaran tumbuhan. Biasanya dari sekam padi. Kandungan kalium yang terdapat di dalam abu gosok inilah yang berperan penting dalam menghilangkan noda membandel pada ketel atau peralatan dapur lainnya. Kalium yang bereaksi dengan air menghasilkan Kalium hidroksida yang bersifat basa sehingga mampu bereaksi terhadap kotoran dan mengangkatnya keluar. ...

Berbuat Baik Terhadap Orang Lain

Kebajikan itu sebajik namanya, keramahan juga demikian, dan kebaikan itu juga sebaik perilakunya. Orang-orang yang pertama kali akan dapat merasakan manfaat dari semua perbuatan itu adalah mereka yang melakukannya hal tersebut. Mereka akan merasakan buahnya seketika itu juga di dalam jiwa, akhlak, dan nurani mereka. Sehingga mereka pun selalu lapang dada, tenang, serta merasa tenteram dan damai. Ketika kita diliputi kesedihan dan kegalauan dalam hidup, maka berbuat baiklah terhadap sesama, niscaya akan mendapatkan ketentraman dan kedamaian hati. Dengan cara, sedekahilah orang yang fakir, tolonglah orang yang terdzalimi, ringankan beban orang yang menderita, berilah makan orang yang kelaparan, jenguklah orang yang sakit, dan bantulah orang yang terkena musibah, niscaya kalian akan merasakan kebahagiaan dalam semua kehidupan yang kalian jalani. Perbuatan baik itu laksana wewangian yang tidak hanya mendatangkan manfaat bagi pemakainya, tetapi juga orang-orang yang berada di sekitarnya...