Manakala orang menyebut, bahwa UIN Malang beberapa tahun belakangan mengalami kemajuan, maka salah satu modal kekuatannya adalah adanya persatuan di antara semua warga kampus. Berbagai kelompok, golongan, atau aliran pemahaman keagamaan, kalau ada, bisa bersatu dalam satu barisan untuk mengembangkan perguruan tinggi Islam di Malang ini.
Kata itu gampang didengar, ialah bersatu. Akan tetapi, usaha untuk menyatukan banyak orang, dalam prakteknya, ternyata tidak mudah. Kehidupan banyak orang selalu tergambar seperti halnya air di atas daun talas. Pada saat bersatu, mereka itu cepat berpisah-pisah. Dan pada saat berpisah, juga amat sulit untuk disatukan. Oleh karena itu menyatukan banyak orang menjadi sangat sulit. Namun, pada kadar tertentu, persatuan warga UIN Malang berhasil diwujudkan.
Di banyak kampus perguruan tinggi Islam lainnya, sekedar mempersatukan para dosen, karyawan, dan mahasiswanya belum sepenuhnya berhasil. Pengelompokan atas dasar etnis, latar belakang asal daerah kelahiran, afiliasi organisasi keagamaan, dan lain-lain selalu mewarnai kehidupan mereka sehari-hari. Kelompok-kelompok itu selalu mewarnai kehidupan kampus. Atas dasar pengelompokkan itu, maka muncul istilah ada orang dekat dan orang jauh, kelompoknya dan bukan kelompoknya, jama’ahnya dan bukan jama’ahnya, orang kita dan bukan orang kita, dan seterusnya.
Sebagai akibat dari keadaan tersebut, maka pimpinan lembaga pendidikan tinggi Islam tidak sempat berpikir tentang kemajuan. Mereka sekedar menjadikan kampusnya stabil saja bukan pekerjaan mudah. Tatkala akan mengambil keputusan, mereka bukan saja mendasarkan pada pikiran obyektif, tetapi harus mempertimbangkan aspek-aspek sosiologis, sejarah, politis, dan antropologis yang rumit. Pendekatan itu tidak salah, sebab jika tidak hati-hati, maka keputusan yang diambil akan melahirkan konflik, dan atau perpecahan yang berkepanjangan.
Di UIN Malang keadaan seperti itu, saya katakan “relatif” terselesaikan. Memang getaran-geratan perbedaan itu masih terasakan, tetapi tidak sampai menganggu upaya-upaya untuk mendinamisasi organisasi. Kesimpulan dimaksud itu bisa dilihat dari tatkala terjadi suksesi kepemimpinan. Orang tidak lagi melihat, bahwa calon pemimpin itu berasal dari mana, melainkan sudah mendasarkan pada alasan yang mendekatai tepat, yaitu akan bisa melakukan apa. Sudah barang tentu, kesimpulan tersebut tidak sepenuhnya utuh, tetapi tanda-tanda mau berpikiran obyektif sudah mulai muncul.
Atas dasar prestasi itu, saya seringkali ditanya oleh beberapa kalangan, terutama dari perguruan tinggi Islam, bagaimana membangun persatuan itu. Tentu jawaban saya masih belum menjadi sebuah teori yang teruji, tetapi setidaknya menjadi bahan inventarisasi yang bisa dipertimbangkan. Pertama, adalah berusaha menyalurkan semua aspirasi yang ada. Keinginan atau kesenangan dari siapa saja tidak perlu ditahan atau dihalangi, tetapi disalurkan. Keinginan mengembangkan NU misalnya, Muhammadiyah, atau apalagi lainnya di kampus, dari siapapun, saya mencoba untuk menyalurkan. Keinginan semacam itu disalurkan semuanya.
Sebagai contoh sederhana, yaitu yang lebih teknis, bagi mereka yang berkeinginan untuk mengembangkan kegiatan kultural Islam, seperti membaca shalawatan bersama, istighasah, seni Islami, termasuk kegiatan mahasiswa yang disebut dengan pagar nusa, dikembangkan di UIN Malang. Demikian pula kegiatan dakwah kampus, kultum atau kuliah tujuh menit, berbagai jenis diskusi keagamaan oleh siapa saja, mereka diberi keleluasaan untuk melaksanakannya. Saya memahami, bahwa keinginan yang benar-benar didorong oleh kekuatan dari dalam diri seseorang, manakala dilarang, justru akan membesar. Oleh karena itu, rumusnya adalah, sebisa mungkin menyalurkan semua keinginan itu.
Strategi yang kedua, adalah mengajak untuk memiliki cita-cita besar bersama. Semua orang pasti memiliki cita-cita, baik terkait dengan dirinya, keluarganya, organisasinya, dan yang terbesar adalah menyangkut kampusnya. Tidak henti-hentinya, semua warga kampus, saya ajak memiliki cita-cita besar. Misalnya, saya mengajak untuk membangun kampus Islam unggul, UIN Malang agar suatu saat menjadi percontohan bagi kampus Islam lainnya di Indonesia, menjadi yang terbaik, dan seterusnya.
Selain hal tersebut, semua warga kampus juga selalu saya ajak untuk membuat program-program besar, misalnya membangun kampus yang luas dan megah, menjalin jaringan kerjasama, dan tentu sekali-kali, saya harus memberikan pengakuan terhadap keberhasilan yang telah diraih bersama. Kebersamaan itu, ternyata mampu menyatukan kalangan yang berbeda-beda itu dan akhirnya persatuan menjadi kekuatan untuk mengembangkan kampus ke depan yang lebih jauh. Wallahu a’lam.